Leptospermum javanicum is a species of tree that is native to Myanmar, western and central Malesia. It has fibrous bark on the trunk, leaves that are much paler on the lower surface, relatively large white flowers and woody fruit.
Leptospermum javanicum is a tree that typically grows to a height of about 6 m (20 ft) and has fibrous bark on the trunk and larger branches. The branchlets are covered with soft hairs when young and have prominent flanges extending from the base of the leaves. The leaves are elliptical to egg-shaped, dark green on the upper surface and much paler below, 10–30 mm (0.39–1.18 in) long, 4–9 mm (0.16–0.35 in) wide. The flowers are white, 15–20 mm (0.59–0.79 in) wide and are borne singly on short side branches on a pedicel up to 1 mm (0.039 in) long. The floral cup is covered with soft, silky hairs and the edges of the sepals are densely hairy. The petals are white and the fruit is a woody capsule that is domed above, 4–5 mm (0.16–0.20 in) long and 6–7 mm (0.24–0.28 in) wide.[2]
Leptospermum javanicum was first formally described in 1826 by Carl Ludwig Blume in the his book Bijdragen tot de Flora van Nederlandsch Indie.[3][4]
This tea-tree grows at altitudes of between 1,500 and 3,000 m (4,900 and 9,800 ft) from Myanmar to western Malesia.[2]
Isolates from L. javanicum have shown potential as anti-cancer treatments by inducing apoptosis in lung cancer cells and distorting their ability to undergo metastasis.[5]
Leptospermum javanicum is a species of tree that is native to Myanmar, western and central Malesia. It has fibrous bark on the trunk, leaves that are much paler on the lower surface, relatively large white flowers and woody fruit.
Kayu putih lembut[4][5] (Leptospermum javanicum), atau juga dikenal dengan nama gelam bukit dan kayu papua,[5] adalah sejenis perdu atau semak anggota suku Myrtaceae yang biasa tumbuh di tanah-tanah miskin, terutama di pegunungan. Nama-nama daerahnya, di antaranya, cantigi gunung,[6] ki tanduk (Sd.);[7] hulong, hurong (Amb.);[2][8] dan lèlèl (Seram selatan).[9] Di sekitar Danau Toba, tumbuhan ini dikenal dengan nama kayu sulim[10] atau silom.
Perdu hingga setinggi 9 m;[11] dengan batang yang biasanya bengkak-bengkok dan berbenjol-benjol, bercabang banyak, sering mengerdil pada tanah-tanah miskin hingga tingginya < 50 cm.[12] Kayunya keras, dengan pepagan memecah, beralur-alur memanjang, berwarna kelabu. Ranting-ranting berambut balig, menyegitiga, dengan gigir rendah (flanges) yang menonjol dan memanjang ranting di bawah tertancapnya tangkai daun.[11][12]
Daun-daun berseling, duduk, harum apabila diremas, hijau di atas dan keabu-abuan (daun muda dengan rambut balig keperakan) di bawah atau hampir sewarna, jorong sempit, 10-30 × 3-9 mm, ujungnya runcing atau menumpul. Bunga biasanya soliter, jarang berkumpul sampai 4 kuntum, muncul pada cabang samping yang pendek, bergaris tengah antara 15–20 mm, bertangkai amat pendek 0–1 mm; taju kelopak tumpul, dengan tepi berambut; mahkota putih; harum. Buah kering, keras berkayu, serupa kerucut terbalik, atasnya bentuk kubah menutup di atas mangkuk, beruang-5, 4-5 X 6–7 mm;[11] bila masak ujungnya membuka dengan celah yang cukup lebar untuk melepaskan banyak sekali biji berbentuk pita.[12]
Gelam bukit menyebar luas di kawasan Malesia, di antaranya Sumatra (termasuk Bangka dan Belitung), Jawa, Flores, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku; ke barat melalui Semenanjung Malaya hingga ke Burma; ke utara hingga Filipina; dan ke timur hingga pesisir utara Queensland di Australia.[11]
Tumbuhan ini acap dijumpai pada wilayah dengan lapisan tanah yang tipis,[11] pada tanah-tanah podsolik berpasir, dan pada tanah-tanah di atas batuan asam di pegunungan tinggi.[12] Dijumpai tumbuh mulai ketinggian 50 m dpl.,[11] di Jawa perdu ini hanya didapati di gunung-gunung pada ketinggian 1.200-3.000 m dpl., dan di Sulawesi hingga ketinggian 3.600 (3.400?) m dpl. (G. Latimojong).[12] Di Maluku, hurong didapati pula di gunung-gunung yang tak seberapa tinggi.[2]
Rumphius mencatat bahwa kayunya yang keras dan awet dipakai sebagai bahan pembuatan rumah (kasau), atau sebagai gagang perkakas seperti parang dan kapak.[2] Batang atau cabang yang berukuran kecil namun lurus dipakai sebagai kayu ramuan untuk atap, sedangkan batang yang besar-besar lagi berbonggol dipakai sebagai kayu bakar.[9]
Daun-daunnya berbau harum aromatis, dan pada masa lalu acap diseduh sebagai obat penat. Dari daun-daun ini juga dapat disuling minyak atsiri, yang dapat dihirup untuk meringankan radang tenggorokan, atau digosokkan di kulit untuk menyembuhkan encok.[9]
Kandungan kimiawi pada L. javanicum telah terbukti potensial sebagai anti kanker paru-paru.[13] Ekstrak daun-daun L. javanicum dari Semenanjung Malaya ditengarai mengandung minyak-minyak esensial terpinen, pinen, serta karyofilen dalam komposisi yang bervariasi menurut tempat tumbuhnya.[14]
Kayu putih lembut (Leptospermum javanicum), atau juga dikenal dengan nama gelam bukit dan kayu papua, adalah sejenis perdu atau semak anggota suku Myrtaceae yang biasa tumbuh di tanah-tanah miskin, terutama di pegunungan. Nama-nama daerahnya, di antaranya, cantigi gunung, ki tanduk (Sd.); hulong, hurong (Amb.); dan lèlèl (Seram selatan). Di sekitar Danau Toba, tumbuhan ini dikenal dengan nama kayu sulim atau silom.
Leptospermum javanicum là một loài thực vật có hoa trong Họ Đào kim nương. Loài này được Blume mô tả khoa học đầu tiên năm 1827.[1]
Leptospermum javanicum là một loài thực vật có hoa trong Họ Đào kim nương. Loài này được Blume mô tả khoa học đầu tiên năm 1827.